Sekilas Tentang Nagari Ulakan
Ulakan adalah nama sebuah Nagari yang terletak dalam sebuah wilayah Pemerintahan terendah kecamatan Ulakan Tapakih, kabupaten Padang Pariaman. Secara geografis daerah ini berada dalam daratan rendah dengan kawasan pantai yang cukup luas di pinggir Samudera Indonesia. Iklim cuaca yang baik di pinggir pantai menjadikan mata pencaharian utama penduduknya sebagai nelayan, di samping juga ada sebagian kecil yang bertani. Tetapi, juga tidak sedikit anak Nagari Ulakan yang berada di perantauan di berbagai kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan kota-kota besar lainnya.
Nagari Ulakan sebagai sebuah wilayah Pemerintahan terendah sebelum tahun 2016 memiliki batas-batas sebagai berikut : sebelah Utara berbatasan dengan Nagari Sunua kecamatan Nan Sabaris. Sebelah selatan berbatasan dengan nagari Tapakih, sebelah barat berbatasan dengan kepulauan Mentawai, sebelah timur berbatasan dengan Nagari Pauh Kamba kecamatan Nan Sabaris dan Toboh Gadang kecamatan sintuk Toboh Gadang.
Letaknya yang begitu strategis menjadikan daerah ini sebagai jalur perlintasan Bandara Internasional Minangkabau menuju Kota Pariaman. Lebih-lebih lagi, jalur jalan sebagai penghubung antar daerah sekitarnya cukup baik dan beraspal, sehingga arus transportasi antar daerah relatif lancar dan mudah dijangkau dari berbagai tempat.
Nagari Ulakan sebelum tahun 2016 merupakan Nagari yang luas dengan jumlah Korong di dalamnya ada 19 Korong. Namun setelah pemekaran di tahun 2016, nagari Ulakan pecah menjadi 7 Nagari, yaitunya nagari Ulakan, Nagari Manggopoh Palak Gadang Ulakan, Nagari Sandi Ulakant, nagari Kampuang Galapuang Ulakan, Nagari Padang Toboh Ulakan, Nagari Sungai Gimba Ulakan, dan Nagari Seulayat Ulakan.
Ulakan Sebelum Syekh Burhanuddin
dalam sebuah buku yang berjudul "Riwayat dan Perjuangan Syekh Burhanuddin" yang disusun oleh Amiruddin Tuangkan Bagindo dkk. Yang bersumber dari wawancara dengan tokoh Ulama terkemuka di Sumatera Barat, yaitu Buya Haji TK. Sidi Musa Tapakih serta beserta beberapa Sumber lainnya menjelaskan tentang masa Ulakan sebelum adanya Syekh Burhanuddin .
Sebagaimana yang telah diterangkan bahwa setelah Sri Maharaja Diraja mendiami Alam Minangkabau ini beserta telah berdirinya Luhak Nan Tigo, perkembangan Manusia makin meningkat. Muncullah keinginan Untuk mencari tanah baru sehingga lahirlah nama Rantau Hilir dan Rantau Mudik, sebelum ber Tiku dan Pariaman, sebelum ber Sintuk Lubuk Alung, sebelum ber Sunur Kurai Taji, sebelum ber Gadur Pakandangan, riwayat menerangkan bahwa telah ada empat Raja di rantau ini masing-masing bernama Rajo Gudanggo, Tuangku Lubuk SiDukung, Raja Batuah dan Raja Padang Manggis yang bergelar Tuangku nan Ganduik. Kemudian Tuangku Lubuk Sidukung tinggal dan berdiam diri di sebuah tempat bernama Silasung yang tidak berapa jauh dari Sicincin sekarang.
Setelah itu terjadi perpindahan untuk mencari tempat yang baik dan tanah yang baru untuk di diami, maka turunlah empat orang Niniak dari Tanah Datar yang masing-masingnya bernama Raja Angek, Raja Kayo, Datuak Bandaharo, dan Panglimo Labih. Setelah mereka sampai pada suatu tempat maka mereka berhenti disana kemudian mereka jadikan tempat itu sebagai batas Rantau Hilir dan Rantau Mudiak. Lalu Mereka melanjutkan perjalanan sehingga mereka bertemu dengan orang tua yang bernama Tuangku Lubuk Sidukung yang lebih dahulu mendiami daerah ini.
Ke empat Ninik yang datang dari Tanah Datar ini menyampaikan maksud hatinya kepada Tuangku Lubuk Sidukung untuk hendak meminta hutan tanah untuk di Laco (garap) dan permintaan itu dikabulkan oleh Tuangku Lubuk Sidukung dengan memberi batas semenjak dari ekor Darat dan kepala Rantau sampai riak nan badabua (tepi pantai) menjadi Ulayat Ninik nan berempat itu.
Tahun berganti tahun anak dan kemenakan telah berkembang biak , taratak dan dusun telah ada maka mereka tidak dapat mengerjakan Ulayat yang luas itu, hanya di laco hingga Sicincin saja. Kemudian Tuangku Lubuk Sidukung kembali ke paninggahan menjemput kemenakannya Sariamin suku Koto bergelar Amai Said Dt.Rky. Bandaharo bersama suaminya Lumin bergelar Dt. Maninjun. Sariamin gelar Amai Said Dt.Rky Bandaharo dan suaminya Lumin di dudukkan di hutan untuk melaco tanah itu demi anak cucunya.
Oleh karena kebijaksanaan dan keramahan tambahannya, permintaan suami istri itu akhirnya dikabulkan. Kemudian mengingat Ulayat yang telah diberikan kepada Raja Angek, Datuak Bandaharo, Panglimo Kayo dan Panglimo Labih pada tempo harinya, maka Tuangku Lubuk Sidukung mengulakkan perjanjian yang lama yang telah dibuat dengan Rajo Angek dan kawan-kawan .
Berhubung karena tanah yang dikerjakan oleh Ninik yang berempat itu hingga Sicincin saja, maka daerah sampai ke riak nan badabua diberikan kepada datuak Maninjun dan Istrinya bernama Amai Said. Setelah timbang terima maka dibuatlah batasnya yaitu sebuah parit yang bernama Parit Puar.
Kemudian daerah dari Parit Puar sampai ke ekor darat kepala rantau itulah yang menjadi daerah Rajo Angek serta kawan-kawannya dan dari Parit Puar sampai ke Riak nan badabua menjadi daerah datuk Maninjun sabatang panjang bersama isterinya Amai Said. Justru karena itu Tuangku Lubuk Sidukung mengulakkan perjanjian lama dengan Rajo Angek dan kawan-kawannya, maka di namailah daerah yang telah diberikan kepada Amai Said dan suaminya itu dengan nama Ulakan Panjang. Oleh karena itulah tempat Amai Said menetap itu sampai sekarang dinamakan dengan Ulakan.
Setelah Tuangku Lubuk Sidukung berpulang ke Rahmatullah terjadilah pertengkaran atau dalam bahasa minang disebut gaduah antara Maninjun sabatang panjang dan Istrinya dengan Rajo Angek serta kawan-kawannya masalah batas tanah/kekuasaan, tempat terjadinya pertengkaran tidak beberapa jauh dari pakandangan.
Kemudian Rajo Angek dan kawan-kawannya memaklumkan perang kepada datuak Maninjun, karena tidak ada yang gagah berani dan orang kuat lagi kebal yang ahli dalam siasat perang di pihak datuak Maninjun, maka dimintalah bantuan perang ke penyinggahan. Orang yang datang memberi bantuan ialah Panglimo Kucing Hitam, Sieh Tuan Panduko Tuan, Tam Basa Majo Basa, Malako Malakewi, Rangkayo Batuah, dan Rajo Sampono.
Setelah perperangan itu berakhir dengan kemenangan di pihak Datuak Maninjun, mereka diberi imbalan wilayah yang telah dibuat sebelumnya hingga akhirnya mereka menetap di Ulakan dengan diberi tempat, empat orang di Ulakan, Lima orang di Tapakih dan satu orang di Ketaping (Itulah yang dinamakan dengan Nan Sabaris).
Setelah zaman berputar, kian hari umat manusia bertambah banyak jumlahnya sehingga taratak dan dusun telah berdiri dinamakan untuk dijadikan sawah dan ladang serta tempat mengembalakan kerbau dan banteng.
Tetapi walaupun demikian, disaat agama yang mereka anut adalah agama hindu/budha dan Ada pula sebagian dari mereka yang tidak mempunyai agama tertentu. Sehingga dengan cara itu maka mudahlah terjadinya pertengkaran dan permusuhan dimana-mana. Akhirnya bermunculan orang yang gagah berani lalu berkembanglah segala bentuk ilmu pengetahuan seperti ilmu gayung dan sewai, ilmu kebal tahan pukul dan ilmu sihir yang mana mereka menganggap ilmu itulah yang nantinya yang bisa menyelamatkan dirinya dari segala mara bahaya.
Namun demikian mereka telah membawa turunan adat Minangkabau dari luhak Nan Tigo ke Rantau ini yang mana adat itu selalu menjadi pegangan teguh bagi setiap manusia yang hidup di Alam Minangkabau ini sebagaimana yang telah digariskan di dalam buku adat Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatih Nan Sabatang.
Keberadaan Syekh Burhanuddin di Ulakan
Keberadaan Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan Ulakan adalah atas inisiatif dari khatib Majolelo dan pemuka masyarakat Tanjung Medan yang menjemputnya ke pulau Angso ketika kembali belajar dari Aceh. Begitu juga halnya, dilihat dari asal keturunan nenek moyang Syekh Burhanuddin bukanlah orang Ulakan, tetapi dari darek dari Pariangan, Padang Panjang. Dengan dua kenyataan ini memberikan penjelasan bahwa dia tentu tidak memiliki Ulayat (tanah asal) yang akan bisa memperkokoh keberadaannya dalam sistem sosial masyarakat tempatnya mengabdi ini. Maka dalam mengembangkan paham keagamaan ia menggunakan kekuatan sosial budaya yang ada dalam masyarakat. Penguatan terhadap sistem sosial budaya yang telah ada dan mapan adalah salah satu strategi perjuangannya yang masih ampuh sampai saat ini. Misalnya mengangkat imam, khatib nagari sebagai penyambung lidah Syekh (fatwa Agama) dengan pemuka nagari (penghulu), yang populer dalam pepatah "halaman syarak tapian adat".
Kuatnya dukungan kaum adat dan pemuka masyarakat terhadap misi keislaman yang ditebarkan Syekh Burhanuddin ditunjukkan oleh kesediaan mereka memberikan lahan untuk membangun Surau dan sekaligus bekerjasama dalam mendirikan surau-surau tersebut. Atas prakarsa Idris khatib Majolelo berdirilah Surau pertama yang berfungsi sebagai tempat penyiaran agana (dakwah), belajar kitab, dan juga pengajian anak-anak Tanjung Medan Ulakan. Seiring berjalannya waktu, di setiap Korong berdirilah surau-surau tempat pengajian orang dewasa, tempat ibadah dan pengajian anak-anak. Begitupun juga di pusat Nagari di dirikan masjid.
Masjid pertama yang menjadi tempat shalat Jum'at dan tempat memusyawarahkan urusan keagamaan di bangun di Kampung Koto sekitar lebih kurang 3 Km dari Tanjung Medan dan merupakan pusat Nagari Ulakan. Pembangunan fisik masjid kampung Koto juga di ikuti dengan pengobatan imam, khatib, labai, dan pegawai masjid sebagai persyaratan berdirinya sebuah sidang Jum'at. Pendirian sidang Jum'at inipun tidak terlepas dari kesepakatan dan dukungan kalangan adat. Oleh sebab itulah maka dalam pepatah adat disebut "Punco di Ulakan Pasak di Pagaruyung" (artinya Agama sebagai landasan pokok kehidupan berada di Ulakan, adat sebagai budaya yang akan memperkuat landasan itu berpangkal di Pagaruyung). Ini mengindentifikasikan bahwa hubungan adat dan agama secara harmonis bernulb di daerah rantau, dalam hal ini di Ulakan. Di saat pemuka adat di daerah darek masih bermain judi dan bersabung ayam dan masih menjadi budaya mereka, di rantau (Ulakan) kaum adat telah menjadi tulang punggung dakwah Islamiyyah yang di emban syekh Burhanuddin.
Segi lain yang memberikan arti besar kebetadkeb Syekh Burhanuddin di Ulakan ialah kesuksesannya menyatukan antara adat dan agama sedemikian rupa tanpa menimbulkan konflik yang berarti. H.B.M. leter menyebut persenyawaan antara adat dan syarak yang dirintis oleh Syekh Burhanuddin Ulakan adalah buah karya yang tak ternilai harganya bagi kehidupan sosial dan budaya orang Minangkabau sejak masa lalu sampai masa yang akan datang.
Setelah Syekh Burhanuddin mengajar selama 10 tahun di Ulakan, ia kemudian nrngadamen evaluasi terhadap perkembangan perguruan Islam dan ummat Islam di Minangkabau serta bagaimana sikap kaum adat atau para penghulu dalam menerima dan menerapkan ajaran Islam. Setelah itu diadakanlah pertemuan di pusat pendidikan Surau Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan Ulakan tahun 1659M Bertepatan dengan bulan Syafar tahun 1079 H. Karena memang setiap bulan Syafar syekh Burhanuddin bersama empat temannya yang sama-sama belajar di Aceh dulu tetap mengadakan pertemuan tahunan untuk memperbincangkan adat dan syarak. Tradisi pertemuan Lima serangkai kemudian di ikuti oleh perguruannya masing-masing, bahkan sudah menjadi tradisi sejak masa ini. Kemudian Syekh Burhanuddin secara kebetulan Wafat juga di bulan Syafar tahun 1111H, maka untuk itu disepakati pula menjadikan bulan Syafar di hari terang dijadikan acara menziarahi guru. Pertemuan tahun 1079H/1659 M ini melahirkan dua keputusan penting, yaitu:
Pertama, Untuk mempercepat perpaduan dan juga persenyawaan adat dan syarak perlu dukungan lebih luas dari penghulu di darek. Juga karena adanya bantuan dan pengaruh dari kekuasaan pemerintahan di rantau (Rajo dan Rangkayo) dan atas dukungan kerajaan Aceh yang mendominasi perdagangan rakyat di daerah pesisir Rantau. Hal serupa juga berlaku di Aceh, seperti bunyi pepatah, "adat bak pentu manruhum sultan Iskandar, syarak bak Syiah di Kuala" (artinya adat di bawah kekuasaan almarhum Sultan Iskandar Muda, Syarak di bawah keputusan Syiah Kuala (gelar untuk syekh Abdurrauf al-Sinkili)).
Kedua, lambat dan mandeknya pengembangan Islam di Luhak Nan Tigo (Pusat alam Minangkabau) disebabkan oleh banyaknya kendala-kendala yang dihadapi pemuka agama. Kendala tersebut berasal dari kalangan adat yang disebabkan antara lain oleh masih kuatnya pengaruh ajaran agama Buddha.
Pengaruh dari agama Buddha yang aristokrat masih membekas pada masyarakat pedalaman, bahkan ninik mamak (penghulu) masih terbelenggu oleh tradisi jahiliah budihistis yang aristokrat, permainan judi, sabung ayam serta perbuatan maksiat lainnya. Di samping itu, di kawasan Luhak nan Lima puluh kota, tempat asal mulanya Islam masuk, pernah terjadi pertentangan antara Islam sunnS dan Syi'ah. Akibat dari konflik paham keagamaan ini, para penghulu memilih mempertahankan kebiasaan lamanya, sedangkan masyarakat banyak bingung karena penghulu adalah ikutan dan teladan dalam kehidupan mereka.
Basa ampek balai sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di darek masih bersikap formalistik dan lebih dulu melihat perkembangan secara jelimet, mereka bersikap defensive menaati perkembangan. Sebab, mereka merasakan jika Agama Islam diberi peluang lebih besar tentu posisi dan kedudukannya akan tergeser dalam masyarakat, karena mereka bukanlah ulama. Mereka menyadari bahwa mereka sebagai pemegang kekuasaan sangat berkepentingan sekali untuk menguasai masyarakat, namun Agama Islam masih perlu diberikan kesempatan untuk mengembangkan dirinya secara mandiri. Walaupun umat Islam sudah banyak, namun mereka masih belum mampu menerobos Jauh ke dalam sistem pemerintahan alam Minangkabau.
Karena kuatnya kekuasaan dan pengaruh penghulu di Luhak nan Tigo, Taufik menyebut Nagari sebagai kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang penghulu bersifat mandiri dan Otonom, sedangkan kekuatan ulama masih sangat terbatas sekali. Memperhatikan keadaan ini, akhirnya diambil beberapa kesimpulan dan kesepakatan sebagai berikut:
Bertolak dari hasil kesepakatan dan tekad diatas, maka diambillah kesimpulan bahwa tokoh Lima serangkai (Syekh Burhanuddin dan empat temannya yang membantu mangajar di Ulakan) yang didampingi oleh sebelad Raja di rantau (Ulakan), di bawah pimpinan Syekh Burhanuddin akan menemui Basa Ampek Balai yang memegang kendali pemerintahan alam Minangkabau guna memperkarakan (memperbincangkan) agama (syarak) dan adat, yang dikenal dengan 10 perkara, 4 jatuh pada adat dan 6 jatuh pada syarak.
Maka pada bulan Syafar tahun 1650 M syekh Burhanuddin bersama temannya yang berempat (Tuanku Bayang dari Bayang, Tuanku Kubung tigo baleh Silok, Tuanku hampar 50 kota, dan Tuanku Padang Ganting Batu sangkar) didampingi oleh Rajo rantau nan sebelas (Amai Said, Rajo dihulu, rajo Sulaiman, Rajo Mangkuto, panduko magek, Tan basa, Majo Basa, Malako, Malakewi, Rajo Batuah, Rajo Sampono) berangkat menemui Basa Ampek Balai atas inisiatif Tuanku Padang Ganting atas nasehat Tuan Qadhi Padang Ganting. Kemudian dilangsungkan pertemuan itu di puncak Pato dengan dihadiri Basa Ampek Balai dan penghulu penghulu terkemuka di Luhak nan tigo. Pemilihan tempat ketinggian itu Karena di situ dapat dilihat Ranah Pagaruyung kebesaran alam Minangkabau, bukit itu dinamakan dengan Bukit Marapalam terletak di antara desa Sungayang dengan Batu Bulek. Inilah yang kemudian dikenal dengan "Perjanjian Bukit Marapalam", atau disebut "Piagam Bukit Marapalam".
Sejak dikukuhkannya perjanjian Bukit Marapalam oleh pemuka adat dan agama di Minangkabau, maka dilakukan penyebaran kesepakatan ini oleh kedua belah pihak. Wujud nyata dari perjanjian itu dituangkan dalam filosofi yang lebih populer dengan sebutan pepatah adat:
"Adat basandi syarak, Syarak basandi kitabullah (adat mesti didasarkan pada agama, agama berdasarkan kitabullah (Al-Qur'an)
Syarak mangato adaik mamakai (agama Islam memberikan fatwa adat yang melaksanakannya).
#SM_Panyalai
Sumber
Amiruddin, TK. Bgd dkk, Riwayat dan Perjuangan Syekh Burhanuddin,
Samad,Duski , Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau (Syarak mandaki adat manurun), Minangkabau Foundation, 2003.